
Minggu, 12 Oktober 2025
Dulu, belanja baju bekas identik dengan “ngirit” atau “nggak mampu beli baru”. Tapi sekarang? Ceritanya berubah total.
Buat Generasi Z, thrifting bukan lagi pilihan darurat, tapi pernyataan gaya hidup. Ada rasa bangga saat nemu jaket vintage, hoodie retro, atau jeans edisi lama yang nggak bisa kamu dapetin di toko mana pun.
Yang dulu disebut barang inferior dalam teori ekonomi — alias barang yang ditinggalkan kalau penghasilan naik — sekarang malah jadi barang normal. Bahkan, buat sebagian anak muda, thrifting adalah identity statement.
Thrifting bukan cuma soal hemat uang. Ada banyak nilai lain di baliknya:
Dengan kata lain, thrifting bukan cuma soal harga, tapi soal nilai dan makna pribadi.
Dalam teori ekonomi klasik, kalau penghasilan naik, orang harusnya berhenti beli barang bekas. Tapi, kenyataannya beda.
Gen Z justru tetap memilih thrifting meskipun punya uang lebih, karena yang mereka cari bukan sekadar fungsi pakaian, tapi kepuasan emosional dan nilai moral di baliknya.
Utilitas (kepuasan) yang mereka kejar bukan cuma soal harga murah, tapi tentang cerita, gaya, dan keberlanjutan.
Ketika pemerintah melarang impor pakaian bekas demi melindungi industri tekstil lokal, muncul efek samping:
Kalau pasar resmi ditutup total, bisa muncul deadweight loss alias kerugian ekonomi karena keseimbangan permintaan dan penawaran rusak.
Daripada melarang total, mungkin yang dibutuhkan adalah regulasi yang cerdas:
Dengan begitu, thrifting bisa jadi jembatan antara gaya hidup berkelanjutan dan kreativitas anak muda.
Buat Gen Z, thrifting bukan sekadar tren — ini adalah bentuk kesadaran baru.
Sebuah pesan bahwa fashion nggak harus cepat, murah, dan seragam.
Terkadang, baju yang paling bermakna bukan yang baru dibeli, tapi yang punya cerita.
Baca artikel inspiratif lainnya di direbahin.id — tempat di mana gaya hidup santai dan kesadaran sosial bisa berjalan bareng.
Sabtu, 15 November 2025
Minggu, 09 November 2025
Kamis, 06 November 2025
Minggu, 02 November 2025
Minggu, 26 Oktober 2025