Promo Terbatas: Potong Rambut Tanpa Antri! Daftar Sekarang dan Nikmati Layanan Prioritas.

Melawan Fast Fashion: Saat Thrifting Jadi ‘Barang Normal’ Gen Z

Minggu, 12 Oktober 2025

Melawan Fast Fashion: Saat Thrifting Jadi ‘Barang Normal’ Gen Z

Dari Barang Murah ke Gaya Hidup

Dulu, belanja baju bekas identik dengan “ngirit” atau “nggak mampu beli baru”. Tapi sekarang? Ceritanya berubah total.

Buat Generasi Z, thrifting bukan lagi pilihan darurat, tapi pernyataan gaya hidup. Ada rasa bangga saat nemu jaket vintage, hoodie retro, atau jeans edisi lama yang nggak bisa kamu dapetin di toko mana pun.

Yang dulu disebut barang inferior dalam teori ekonomi — alias barang yang ditinggalkan kalau penghasilan naik — sekarang malah jadi barang normal. Bahkan, buat sebagian anak muda, thrifting adalah identity statement.

Kenapa Gen Z Cinta Thrifting?

Thrifting bukan cuma soal hemat uang. Ada banyak nilai lain di baliknya:

  1. Unik & Langka
    Barang hasil thrifting sering kali satu-satunya. Beda dari yang lain, nggak pasaran. Ada sensasi “treasure hunt” yang bikin nagih.
  2. Ramah Lingkungan
    Setiap baju bekas yang dipakai ulang berarti satu pakaian baru yang nggak perlu diproduksi. Gen Z tahu banget kalau industri fashion adalah salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia.
  3. Etis & Bermakna
    Thrifting jadi bentuk penolakan terhadap budaya fast fashion — yang cepat diproduksi, cepat dibuang, dan sering kali mengeksploitasi tenaga kerja murah.

Dengan kata lain, thrifting bukan cuma soal harga, tapi soal nilai dan makna pribadi.

Saat Ekonomi Klasik Mulai Gagal Menjelaskan

Dalam teori ekonomi klasik, kalau penghasilan naik, orang harusnya berhenti beli barang bekas. Tapi, kenyataannya beda.

Gen Z justru tetap memilih thrifting meskipun punya uang lebih, karena yang mereka cari bukan sekadar fungsi pakaian, tapi kepuasan emosional dan nilai moral di baliknya.

Utilitas (kepuasan) yang mereka kejar bukan cuma soal harga murah, tapi tentang cerita, gaya, dan keberlanjutan.

Tantangan: Larangan Impor Pakaian Bekas

Ketika pemerintah melarang impor pakaian bekas demi melindungi industri tekstil lokal, muncul efek samping:

  • Konsumen kehilangan akses ke barang-barang thrift yang unik.
  • Pasar gelap meningkat, harga naik, dan kontrol kualitas hilang.

Kalau pasar resmi ditutup total, bisa muncul deadweight loss alias kerugian ekonomi karena keseimbangan permintaan dan penawaran rusak.

Solusi yang Lebih Realistis

Daripada melarang total, mungkin yang dibutuhkan adalah regulasi yang cerdas:

  • Atur standar kebersihan dan distribusi.
  • Buka ruang untuk usaha lokal thrift agar tetap legal dan higienis.
  • Dorong industri thrifting jadi bagian dari ekonomi sirkular — daur ulang, perbaikan, dan pemakaian ulang barang.

Dengan begitu, thrifting bisa jadi jembatan antara gaya hidup berkelanjutan dan kreativitas anak muda.

 Penutup

Buat Gen Z, thrifting bukan sekadar tren — ini adalah bentuk kesadaran baru.
Sebuah pesan bahwa fashion nggak harus cepat, murah, dan seragam.

Terkadang, baju yang paling bermakna bukan yang baru dibeli, tapi yang punya cerita. 

Baca artikel inspiratif lainnya di direbahin.id — tempat di mana gaya hidup santai dan kesadaran sosial bisa berjalan bareng.

Logo