Promo Terbatas: Potong Rambut Tanpa Antri! Daftar Sekarang dan Nikmati Layanan Prioritas.

Gen Z-Alpha Makin Sering Curhat ke AI Soal Mental Health, Psikiater UI Ingatkan Risikonya

Jumat, 28 November 2025

Gen Z-Alpha Makin Sering Curhat ke AI Soal Mental Health, Psikiater UI Ingatkan Risikonya

Di era digital, curhat lewat artificial intelligence (AI) sudah menjadi hal yang lumrah, terutama di kalangan Gen Z dan Gen Alpha. Banyak anak muda memilih “ngobrol” dengan chatbot seperti ChatGPT saat sedang stres, bingung dengan emosi sendiri, atau sekadar ingin mengetahui tipe kepribadian.
Namun, para ahli mengingatkan bahwa tren ini bisa membawa risiko serius apabila AI dijadikan rujukan utama untuk memahami kondisi mental.

AI Jadi Tempat Curhat Saat Kesepian

Psikiater dari FKUI-RSCM, dr Kristiana Siste, mengamati semakin banyak remaja dan dewasa muda yang bergantung pada chatbot untuk menilai kesehatan mental mereka. Mulai dari pertanyaan ringan seputar introvert–ekstrovert, hingga dugaan gangguan mental seperti depresi atau kecemasan.

Fenomena ini muncul karena sebagian anak muda merasa lebih nyaman menceritakan keluhan kepada AI dibanding keluarga atau teman dekat. Minimnya komunikasi di rumah membuat chatbot terasa seperti ruang aman untuk bercerita.

AI Tidak Dirancang untuk Menegakkan Diagnosis Klinis

Meski dapat membantu melakukan skrining awal, dr Siste menegaskan bahwa AI tidak bisa menggantikan tenaga profesional. Algoritma bisa saja memberi jawaban yang keliru, berlebihan, atau tidak sesuai konteks karena AI bekerja berdasarkan pola teks – bukan pemeriksaan medis langsung.

Gejala yang terlihat mirip sering kali memiliki penyebab berbeda. Karena itu, diagnosis mental tidak bisa dibuat hanya dari chat atau pertanyaan singkat.

Bahaya Self-Diagnosis dari AI

Salah satu masalah terbesar yang muncul adalah perilaku self-diagnosis. Tidak sedikit pengguna yang mempercayai hasil dari chatbot, lalu menyebarkannya ke media sosial dan melakukan penanganan mandiri tanpa konsultasi.

Risikonya:

  • Penanganan salah karena diagnosis tidak akurat
  • Makin menarik diri dari lingkungan sosial
  • Kecemasan meningkat karena informasi yang disampaikan AI bisa bias atau tidak sesuai kondisi sebenarnya

Ketergantungan pada chatbot juga bisa membuat anak muda merasa “lebih dipahami” oleh AI dibanding manusia, sehingga interaksi sosial semakin berkurang.

AI Hanya Pendukung, Bukan Pengganti Psikolog

dr Siste menekankan bahwa teknologi seperti AI tetap memiliki manfaat—asal digunakan dengan benar. Chatbot bisa membantu sebagai alat skrining awal atau media belajar, tetapi tetap membutuhkan penilaian tenaga kesehatan profesional untuk diagnosis dan perawatan yang tepat.

Ia menyarankan agar penggunaan AI dilakukan bersama keluarga, bukan sendirian. Orang tua perlu memahami teknologi terlebih dahulu sehingga bisa mendampingi anak ketika menggunakan platform berbasis kecerdasan buatan.

“AI bisa bagus kalau dipakai bareng-bareng dalam keluarga. Orang tua memahami dulu, lalu mengajak anak berinteraksi bersama,” ujarnya.

Kesimpulan

Curhat ke AI memang terasa praktis dan aman, tetapi tetap ada batasannya. AI bukan terapis, bukan psikolog, dan bukan dokter. Bagi Gen Z dan Alpha, sangat penting untuk tetap membuka ruang komunikasi dengan orang terdekat dan mencari bantuan profesional ketika mengalami masalah kesehatan mental.

Logo